Hiburan dari Seorang Ayah

Zaman sudah berubah. Meski tak secepat Power Rangers yang langsung berubah hanya dengan mengibaskan lengan dan menggoyangkan kepala. Setidaknya kita dapat melihat jelas perubahan hidup di era jadul hingga era #kekinian. Dulu kita punya TV berbentuk kotak sebesar rice cooker dengan layar buram layaknya semut-semut berbaris rapi saja, rasanya sudah bahagia sekali.
Era ketika tayangan dan hiburan sedemikian minim memang menjadikan hidup masyarakat saat itu dianggap statis dan jenuh. Namun justru memberikan nuansa positif bagi kehidupan keluarga. Masing-masing anggota keluarga memaksakan dirinya untuk berkumpul dengan yang lain. Saat makan bersama, duduk di ruang keluarga untuk sekedar berbincang dianggap sesuatu yang istimewa.
Tak hanya itu, omelan emak dan bapak bahkan disertai cubitan berbekas di kulit tak mampu membuat anak-anak merasa terusir dari rumah. Sakit hati iya. Sakit di badan juga. Sakitnya di sana-sini. Namun, tetap memaksa anak-anak untuk selalu pulang. Anak-anak enggan kabur keluar rumah berlama-lama. Soalnya, di luar rumah juga tidak ada apa-apa. Cuma ada kebon dan sawah serta suasana yang gelap gulita.
Beda dengan sekarang. Orangtua berteriak keras menaikkan desibel suara sedikit saja, anak-anak mendadak minggat tak mau pulang. Mereka tak kuat dimarahi. Padahal tidak semua teriakan berarti marah. Tarzan contohnya. Hampir setiap hari teriak-teriak. Dan justru teriakannya menarik perhatian. Apakah orangtua harus menjadi tarzan dulu agar setiap teriakannya malah dianggap hiburan oleh anak?
Kini, ketika anak suka kelayapan, barulah kita sadar bahwa rumah tak lagi punya daya magnet untuk membuat anak-anak betah di dalamnya. Rumah kini berubah menjadi tempat transit layaknya terminal. Anak-anak pun sekedar numpang lewat. Menjamurnya game station, warnet, tempat nongkrong 24 jam non stop, serta panggung hiburan tentu lebih menarik perhatian. Anak-anak hanya pulang ketika saldo rekening sudah menyerupai hotline restoran cepat saji, 14045.
Jika orang tua tak mampu menjadikan rumah sebagai pusat hiburan bagi anak, bersiaplah menerima kenyataan bahwa anak akan keluyuran di luar rumah. Anak-anak bisa jadi akan keluyuran di mal, kafe, dan tempat nongkrong lainnya. Keitka di rumah, anak-anak mungkin terpaku menatap layar gadget di kamarnya masing-masing. Alhasil, mereka jarang bertegur sapa atau bahkan berbincang mesra dengan orang tuanya.
Bagi anak-anak, hiburan ibarat makanan. Jika tak diberikan oleh orangtuanya, mereka akan banyak jajan di luar. Hal itu dilakukan untuk sekadar memuaskan rasa lapar mereka akan hiburan. Di sinilah peran ayah, Sang Fatherman, amat dibutuhkan sebagai sosok yang juga mampu memberi hiburan, Entertainman. Ayah menjadi aktor utama yang menjadi pusat hiburan bagi anak-anak. Kalau tidak, hiburan di luar akan menarik hati mereka dari kelekatan dengan sang ayah.
Memberi suguhan hiburan bagi anak pada intinya adalah mengatur irama hidup agar dinamis dan tidak bosan. Inilah makna sabda Rasul, “Sa’atan, sa’atan.” Sejenak. Sejenaklah. Hidup dinamis penuh dengan kejutan. Maka, jangan paksakan hidup anak harus berpola seperti nyanyian anak TK, “Bangun tidur, ku terus mandi. Tidak lupa menggosok gigi.” Nah, ayah harus mulai belajar membuat hidup anak dinamis. Hal ini bisa dimulai dengan kemampuan memahami siklus hidup anak.
Diantaranya yang sederhana adalah trik menyapa anak sehabis pulang sekolah. Jangan langsung tanyakan PR kepadanya. Sebab masalah anak di sekolah sudah banyak. Sungguh amat menyakitkan kalau yang ditanya malah PR. Di sinilah sosok lelaki penghibur berperan. Dimulai dari sapaan yang berkesan. Sapaan yang membuat anak merasa bergairah menceritakan pengalaman mereka.
Inilah senjata awal. Sebab ciri anak menempel dan terhibur dengan kehadiran ayahnya adalah ketika ia antusias menceritakan pengalaman hariannya. Tinggal ayah siap-siap memasang telinga saja hingga panas. Sudah bukan rahasia lagi bahwa anak yang ketagihan bercerita ibarat kaset yang disetel berulang-ulang. Sebuah kaset yang hanya berhenti kalau baterai habis atau tombol stopnya ditekan. [Sumber: Fatherman/Bendri Jaisyurrahman]
Foto oleh Pavel Danilyuk dari Pexels.
Malu, Pondasi Dasar Pendidikan Seksualitas
#parenting20-05-2025
Rasa malu ini merupakan pondasi dasar dalam pendidikan seksualitas
Adab Pertama yang Diajarkan ke Anak
#parenting21-04-2025
Mengenai persoalan adab ini, konselor parenting dan keluarga, Ustad Bendri Jaisyurrahman menjelaskan bahwa orang tua bisa mengawali pengajaran mulai dari adab terhadap Sang Pencipta, Allah Ta’ala.
Dukungan Suami pada Istri
#parenting20-04-2025
Sebenarnya, para ibu yang stres ini hanya butuh dukungan dari suaminya. Bagaimana bentuk dukungan suami pada istrinya? Mari kita lihat sikap teladan kita, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang selalu memberikan dukungan kepada istrinya melalui:
Ketika Pasangan Tak Sesuai Harapan
#parenting15-03-2025
Banyak orang yang mendapatkan pasangan yang tidak sesuai ekspektasi sebelum menjelang pernikahan. Inilah yang membuat seseorang berada dalam kebimbangan, apakah tetap bertahan atau berpisah?
Keahlian Ibu yang Memikat Hati Anak
#parenting14-03-2025
Seorang ibu pastinya ingin dekat dengan anak-anaknya dan selalu dirindukan oleh mereka. Tapi bagaimana caranya?